Living Like a Dream (살아도 꿈인 것처럼) (Kris – Song Jina)

어떤 공간에 있더라도 내겐 너 하나죠

No matter what space we are in, to me, there is only one you,

모두 변해도

Even if everything has changed.

너에게 떠나

If I leave you.

나 네게 없어도

Even without me,

지금처럼 웃을 수 있나요

Can you smile just like now?

이대론 살아도 난 살아 있지 않는 것처럼

Like now, even though I am living, it’s as if I’m not alive.

알 수 없어

I cannot know

너와

With you.

tumblr_m43j1eYNu61r9r62po1_1280

Kanada, 2007

“Kris! Kau jadi ikut?” Tao memanggil.

“Sepertinya tidak.” Kris menjawabnya.

“Kau terlihat muram, Kris. Apakah kau tidak senang? Dua hari lagi kita akan ke Korea untuk training. Dua hari lagi, Kris.”

“Iya, aku tahu. Tapi, aku rasa aku belum siap meninggalkan Kanada.”

Kris, Tao, dan beberapa anak lainnya, tersebar di seluruh Kanada, baru-baru ini mendapatkan telepon dari agensi Korea, SM Entertainment, yang menyatakan bahwa mereka lulus audisi yang diadakan SM beberapa bulan yang lalu.

Kris hendak berjalan pulang setelah Tao pergi ketika dua tangan menutupi matanya.

Ia meraih tangan itu dan membuka matanya, berbalik dan melihat seorang yeoja yang merupakan teman dekatnya.

Kris tersenyum setengah hati, “Hey, Jina.”

“Kris, kau terlihat sedih.” Jina mengamatinya, “Tidak seharsunya kau seperti ini. Kau akan ke Korea, Kris! Kau akan jadi bintang besar!”

“Aku tahu itu,” Kris membalas, “Tapi pergi ke Korea berarti meninggalkan Kanada. Meninggalkan rumah, keluarga, teman-teman,” Kris terdiam sebentar dan melanjutkan, “Termasuk meninggalkanmu.”

Song Jina, seorang yeoja berdarah Korea yang besar di Kanada. Satu-satunya murid yang berdarah Asia selain Kris dan Tao. Mungkin itu salah satu faktor mengapa mereka dekat satu sama lain. Seorang teman dekat Kris yang lama-lama dicintainya. Kris belum siap meninggalkannya.

“Kau bisa mengunjungiku di sini kapan saja.”

“Itu akan susah, Jina. Dengan semua training yang akan ku peroleh.”

“Paling tidak aku bisa mengunjungimu di Korea saat libur.”

“Walaupun kau di Korea, belum tentu kita bisa bertemu.”

Jina menghembuskan napas panjang, “Bisakah kau setidaknya memberikanku sedikit harapan bahwa kita bisa bertemu lagi?”

“Jangan khawatir, Jina. Aku yakin kita akan bertemu lagi suatu saat.”

“Jam berapa pesawatmu hari Minggu nanti?” Jina tiba-tiba bertanya.

“9 pagi.” Kris menjawab dengan muram, “Memang kenapa?”

“Kalau begitu kita masih punya besok, kan? Apa yang ingin kau lakukan?” Jina bertanya.

“Hanya menghabiskan waktu bersamamu. Ada tempat yang ingin kau kunjungi?” Kris balas bertanya.

Jina berpikir keras, “Sebenarnya ada. Tempat favoritku. Aku ingin kamu melihatnya.”

“Baiklah, besok ku jemput jam 8 pagi. Kita bisa sarapan bersama juga.”

Sesuai janjinya, Kris menjemput Jina di rumahnya pukul 8 pagi.

“Kau terlihat baik.” Kris memujinya.

“Kau juga tidak terlihat buruk.” Jina tersenyum.

“Kau membawa apa?” Kris bertanya, menunjuk ke sebuah keranjang yang dibawa Jina.

“Rahasia.”

Jina langsung masuk ke mobil Kris dan duduk di kursi pengemudi.

“Hey, bukannya aku yang seharusnya mengemudi?” Kris bertanya sambil memasang sabuk pengamannya.

“Lagian kau tidak tahu tempatnya.” Jina menjawab.

“Kau membawaku ke mana?” Kris bertanya setelah Jina berbelok ke jalan yang tidak diketahuinya.

“Aku sudah bilang ini rahasia, Kris Wu.”

Beberapa saat kemudian, Jina parkir di depan sebuah taman besar yang mengelilingi sebuah danau kecil berair jernih.

“Aku tidak pernah ke sini sebelumnya.” Kris menyatakan.

“Well, kau tidak punya alasan untuk mengunjungi taman ini. Dan aku tidak pernah membawamu ke sini karena biasanya kau terlalu sibuk latihan.”

Kris dan Jina duduk di bawah sebuah pohon yang rindang dan Jina mulai mengeluarkan isi keranjangnya.

“Piknik?” Tanya Kris.

Jina hanya mengangguk.

Mereka menikmati piknik itu sambil mengobrol, lupa akan waktu dan akan kepergian Kris esok.

“Kau mau naik sepeda?” Jina bertanya, “Di dekat sini ada yang menyewakan sepeda.”

“Kenapa tidak?”

Mereka akhirnya memilih sebuah sepeda, Kris mengendarai di depan dan Jina duduk di belakangnya.

“Sebaiknya kau berpegangan.” Kris menyeringai sebelum melaju dengan sangat cepat.

“Ya, Kris Wu!” Jina berteriak.

Kris tersenyum kecil menyadari kedua lengan Jina yang berpengangan erat padanya.

Setelah mereka mengembalikan sepeda yang mereka pinjam, Kris membawa Jina ke sebuah mall dan memaksanya untuk mencoba sebuah gaun yang menurut Kris sangat cantik dipakainya. Kris pun membelinya tanpa sepengetahuan Jina, yang saat itu sedang pergi ke kamar kecil.

“Apa itu?” Tanyanya saat ia kembali, menunjuk shopping bag yang dibawa Kris.

“Bukan apa-apa. Hanya hadiah kecil untukmu.”

Kris mengantar Jina pulang dan memberikannya shopping bag yang tadi dibawanya.

“Pakai ini nanti, okay?” Kris tersenyum, “Aku jemput nanti untuk makan malam.”

Kris pulang ke rumahnya dan memilih setelan jasnya yang terbaik. Ia menyisir rapi rambutnya dan berangkat lagi ke rumah Jina. Untungnya jarak rumahnya dengan Jina relatif dekat.

Kris membunyikan bel rumah Jina dan menunggunya untuk membuka pintu. Jina keluar memakai gaun hijau tosca yang diberikan Kris tadi.

“Kau tampak cantik, Jina.”

Kris menawarkan tangannya kepada Jina. Jina segera menerimanya dan Kris mengantarnya ke mobil. Ia membukakan pintu untuk Jina dan kemudian duduk di kursi pengemudi.

Kini giliran Jina yang bertanya, “Kau membawaku ke mana?”

Kris hanya menyeringai sambil berkata, “Rahasia.”

Restoran yang dipilih oleh Kris, Belle Nuit, merupakan restoran Perancis terbaik di daerahnya. Kris tahu itu akan memakan biaya yang mahal, tapi ia ingin yang terbaik untuk Jina.

“Kau tidak harus membawaku ke sini, kau tahu itu?”

“Tentu saja, tapi aku ingin membawamu ke sini. Lagipula, ini malam terakhirku di sini. Aku ingin semuanya spesial.”

“Jangan ingatkan aku tentang itu.” Jina bergumam.

Mereka makan malam dengan sunyi, kadang-kadang melemparkan senyum kepada yang lain.

Kris membawa Jina pulang ke rumahnya setelah mereka selesai makan, dan sebelum ia masuk, Jina berputar menghadap Kris dan berkata, “Terima kasih untuk hari ini, Kris. Aku tidak akan melupakannya.”

Jina mengecup pipi Kris dan masuk ke rumahnya.

Kris dan Jina berangkat ke airport keesokan harinya. Dengan matanya yang merah dan bengkak, semua orang dapat menebak bahwa Jina menangis malam kemarin.

Sesaat sebelum Kris harus naik pesawat, Jina mengeluarkan sebuah boneka dari tasnya.

Jina menyodorkan boneka itu ke tangan Kris, “Untukmu.”

“Makhluk apa ini?” Kris bertanya sambil menahan tawa.

“Itu alpaca, idiot.” Jina tersenyum kecil, “Akan kau namakan siapa?”

“Hmm… Ace.”

“Ace.. Nama yang bagus.”

Mata Jina mulai mengeluarkan air mata lagi dan Kris dengan segera memeluknya dengan erat.

“Jangan menangis. Berjanjilah, jangan pernah menangis lagi. Aku tidak mau melihatmu kehilangan senyummu.”

Kris melepaskannya dan memintanya, “Ayo, tersenyumlah.”

Jina dengan air mata masih berlinang di matanya berusaha untuk tersenyum.

Kris tersenyum kembali padanya, “Don’t ever lose that smile.”

Seoul’s Olympic Stadium, 31 Maret 2012

“Hyung, eotteokhae? Ada sekitar 3,000 orang yang hadir! Aku belum pernah tampil di depan orang sebanyak ini!” Tao mulai panik.

Kris tetap diam dan memandang foto dirinya bersama Jina di handphonenya.

“Hyung, kau bahkan tidak menengok sekalipun.” Tao berkata kesal, “Merindukan Jina?”

Kris mengangguk, “Sudah lama sekali sejak terakhir aku melihatnya. Hidup jadi membosankan tanpanya. Aku seperti hidup dalam mimpi, kau tahu? Where everything seems right, but doesn’t.”

Tao menepuk pundak Kris bersimpati, “Sudahlah, Hyung. Kita masih harus melanjutkan showcase kita.”

Kris hanya tersenyum kecil dan bersiap-siap untuk naik ke atas panggung.

Showcase EXO yang pertama sukses berat, membuat para fans makin menunggu-nunggu album mereka.

Kris baru saja akan masuk ke dalam van hitam milik EXO saat ia melihat sesosok gadis di seberang jalan.

“Hyung, pulanglah terlebih dahulu bersama member yang lainnya. Aku harus memastikan sesuatu dulu.” Kris memberitahu managernya.

“Baiklah, hati-hati.”

Kris segera menyebrangi jalan, berharap bahwa itu benar-benar dia.

Ia menghampirinya dan memanggil, “Song Jina?”

“Hey, Kris. Kau sangat keren tadi.” Jina tersenyum.

“Kau datang ke showcase kami?”

Jina mengangguk, “Lama tidak bertemu, Kris.”

Kris memeluk Jina dengan erat, “Kau tidak tahu betapa senangnya aku bertemu denganmu lagi.”

Jina tiba-tiba berkata, “Hey, karena kita sekarang di Korea, apakah itu berarti aku harus memanggilmu ‘oppa’?”

Jina tertawa, “Kris Oppa.”

Ia pun tertawa lagi dan kali ini, Kris ikut tertawa.

“Jangan pernah panggil aku ‘oppa’. Itu terdengar sangat aneh.”

END

9 thoughts on “Living Like a Dream (살아도 꿈인 것처럼) (Kris – Song Jina)

Leave a comment